Saturday, September 27, 2014

Tentangnya

Semua orang tahu kalau mendung adalah pertanda akan turun hujan. Tapi tidak selalu mendung terjadi hujan. Kadang hanya sekedar mendung yang kemudian menghilang.Begitulah sesuatu yang disebut tanda. Tanda adalah petunjuk atau simbol. Sama dengan firasat. Jika pertanda hadir melalui gerak alam, firasat hadir dari gerak hati. Bisa pula karena gerak alam yang pengaruhi hati. Itu menurut saya.

Alam menghadirkan tanda-tandanya nya untuk dimengerti manusia. Tapi tak semua manusia peka memahami tanda itu. Mereka terlalu cuek pada alam. Mengabaikan pertanda. 

Firasat yang hadir melalui angin, belaian rambut, bisikan dedaunan, gerakan awan, orang berjalan, lampu lalu lintas, dan mimpi2 malam. Firasat dan pertanda yang hadir tanpa bisa dipaksa, tanpa bisa dikendalikan  atau dikontrol. Firasat yang tak bisa dimintai kapan hadirnya. Dari Semua tanda atau firasat terdapat makna yang tak dapat diceritakan. Bila diceritakan akan menimbulkan komentar-komentar yang menyedihkan.

"Ah..jangan m
"Itu cuma mimpi."


dan masih banyak lagi komentar yang hanya kan menjadi luka. Nggak mudah merasakan seperti itu kemudian menceritakannya. Benar-benar nggak mudah, ketika bermimpi berada disebuah acara kematian, tak berapa lama mengalaminya. Tak mudah saat diam angin berembus dan merasa ada sesuatu yang terjadi, tak lama ada kabar seorang yang disayang meninggal. Tak mudah ketika melihat langit yang tampak baik-baik saja, tapi  merasa tak baik-baik saja, lalu banjirpun datang. Tak mudah merasakan bumi rasanya akan bergoncang hebat, dan hampir tiap hari meributkan bumi bergoncang padahal saat itu tidak terjadi apa-apa membuat orang geleng-geleng menganggap aneh. Tapi, beberapa minggu kemudian gempa besar terjadi.


Memang itu hanya sekedar bermimpi, tapi entah mengapa, tahu mana mimpi yang merupakan pertanda, mana yang merupakan bunga tidur. Terkadang mimpi yang dikira sebagai pertanda atau firasat ternyata hanya rasa saja. Begitupula dengan pertanda alam. Walau mungkin saja gerak alam dan mimpi semua adalah pertanda hanya mampu menganggap itu hanya rasa. 

Saat firasat itu terwujud orang-orang akan memarahi kenapa mengungkapkan firasat yang dirasa. Dianggap aneh, merasa bersalah, menyesal, sedih, bodoh dan entah perasaan apa yang hadir dan apa sebutannya.  Hingga memutuskan untuk mengabaikan firasat, mengabaikan pertanda. Mengabaikan bisikan alam, mengabaikan mimpi. Mengabaikan segalanya. Agar tak lagi dianggap aneh. Sepertinya berhasil. Tapi...................................................... 


Tuesday, September 16, 2014

anak=robot vs anak=manusia

Di zaman seperti ini, banyak anak yang dianggap robot oleh orangtuanya. Anak-anak dipaksa untuk belajar, belajar, dan belajar. Pagi berangkat sekolah, siang kursus piano, vokal, dan sebagainya. Sore anak disuruh berangkat les mata pelajaran dan malam mengerjakan pr. Tidak ada waktu bermain bagi mereka. Padahal bermain merupakan hal penting yang harus dilakukan anak. karena didalam bermain banyak pelajaran yang mereka dapatkan daripada teori-teori dari buku. padqhal saat bermain anak-anak akan belajar banyak kata daripada hanya menghafal buku. Padahal saat bermain anak dapat menciptakan teori-teorinya. Padahal...ah
Ada seorang teman yang bercerita tentang muridnya. betapa menyedihkan anak itu. Sebut saja anak itu sebagai si D. si D merupakan korban ambisi orangtuannya. Si D harus bersekolah sampai sore, kemudian kursus, dan les. D tidak punya waktu bermain sama sekali. Belum lagi jika harus mengikuti pemotretan dan syuting iklan. Selain itu, si D juga akan diomel habis-habisan jika nilai ulangannya kurang dari 10. Saya tidak habis pikir tentang orangtuanya, sebenarnya mereka anggap apa anak mereka?
Ada juga anak yang tidak boleh membaca buku selain buku pelajaran jika nilai pelajarannya kurang dari delapan. Padahal jelas-jelas anak itu hobi membaca. Memiliki kemampuan membaca di atas rata-rata. Tapi bagi orangtuanya anak pintar dan berprestasi adalah anak yang memiliki nilai 10, pandai matematika dan juara kelas melulu.
Entah apa yang diinginkan orangtua mereka.
Untung saja saya masih menemukan orangtua-orangtua yang menganggap anaknya mwnusia.
Di sini saya masih melihat anak-anak bermain di kali tertawa riang, menangkap ikan. Berkotor-kotor ria, berlari di tanah tanpa alas kaki. Bertengkar hingga menangis, tapi keesokan harinya bermain bersama lagi. 
Di sini saya masih melihat anak-anak membuat mainan dengan barang-barang yang ditemuinya. membuat kapal-kapalan dari pelepah pisang, membuat pancing dari ranting-ranting, jala penangkap ikan dari tudung saji kecil milik ibu mereka. Setelah itu akan terdengar suara ibu-ibu mengomel betapa kreatifnya anak mereka. 
Saya masih melihat anak-anak dengan polosnya mentertawai anak terkecil berhasil menangkap ikan yang sangat besar. Dan para orangtua yang sedang mengawasi anak-anak bermain, memuji hasil tangkapan anak kecil itu, tanpa melihat baju yang kotor dan sandal jepit yang hilang sebelah. 
Saat sore, anak-anak itu akan pulang dan bersiap-siap berangkat mengaji. Tanpa paksaan dan mereka melakukannya dengan riang. 
Ketika di belahan bumi bagian lain anak-anak sedang menghafal teori-teori dari buku, anak-anak di sini, sedang menciptakan teori-teorinya.